Hanna Fransisca nama aslinya Zhu Yong Xia. Apabila beliau menyisipkan penyair Han, saya menebak Han itu adalah dirinya, Hanna. Membaca Penyair Han adalah membaca kepenyairan Hanna. Dalam Konde Penyair Han ( Penerbit Kata Kita, 2010 ) terdapat 67 buah puisi yang terdiri daripada puisi-puisi yang relatif panjang juga pendek. Sebagai pengkaji yang malas membaca puisi panjang, saya tumpukan kepada beberapa puisi Hanna yang pendek-pendek saja. Pendek hanya pada harfiah tubuh dan jasad puisi. Arti dan harkat makna puisinya cukup panjang. Saya ambil contoh sajak ' Konde ' ( hal. 21 )
penyair han
menyanggul sajak
dengan bunga padma:
" tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu
menggunting urat hasrat dari nafasmu
dan tuhanku mengajari menyimak
mengejar lekuk yang kausinkan dari hatimu "
Ini merupakan mukadimah untuk mengenali penyair Han a.k.a Hanna. Kalimat " tuan, sekepal jantungku berdegup mencari // menggunting urat hasrat dari nafasmu // dan tuhanku mengajari menyimak // mengejar lekuk yang kausinkan dari hatimu, mengingatkan saya pada sajak Sapardi Djoko Damono, Tuan ( Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984 ) Sapardi menulis begini;
" tuan, tuhan bukan? tunggu sebentar, saya sedang keluar, "
Hanna menyatakan bahwa menyanggul sajak dengan bunga padma. Kenapa padma? Bukan anggerik, mawar atau lili yang banyak tumbuh dan mekar di sekitar kota dan desa. Padma hanya bunga hutan, bersaiz besar dan sukar ditemukan sewenangnya. Itulah metafora Hanna, sajak bukanlah semudah dan sepele itu kayaknya hingga bisa dinikmati pada sebarang waktu yang mungkin. Sajak yang sebenar-benar sajak adalah sejarang dan sesukar bunga padma di hutan tebal.
Sebuah sajak yang sederhana pendek adalah Amoi ( hal. 26 ) Amoi adalah panggilan yang sinonim dengan anak gadis Cina. Sama ada di Malaysia atau Indonesia, panggilan amoi bukan suatu yang asing didengar. Dalam Amoi, Hanna menulis;
kelopak bunga di tengah gerimis
melayang tumbang. senja nyaris tenggelam
bagai singkawang kampung halam
tempat gadis kecilku menyeret pelangi
menuju matahari. kuncup-kuncup kembang
belumlah mekar, tapi pelangi dan matahari
bukankah ia terbit di ujung bumi?
gadis kecilku menyingsong bumi
menyongsong matahari
meninggalkan jendela dan singkawang
kampung halaman. dua sungai merah di pipi
di mimpi seorang ibu: " jangan petik bulan mati
jangan petik tunas kami " tapi matahari
bukankah kadang tak peduli?
singkawang kampung halaman
bunga yang koyak tenggelam, beribu perawan
dipaksa peri menyongsong angin
Amoi adalah biografi diri Hanna. Anak gadis dari Singkawang di Kalimantan yang penuh impian. Impian ( pelangi ) menyeret Hanna ke kota raya ( Jakarta ) yang diperlambangan dengan matahari, tempat memancar segala cahaya dan kilauannya. Ibunya menyinis, " jangan petik bulan mati " yang merupakan pemikiran ortodok masyarakat desa. Tapi Jakarta kota segala kemungkinan, kadang-kadang berlaku kurang ajar. Hanna mengatakan, " tapi matahari bukankah kadang tidak peduli? " Singkawang katanya, pusat ribuan amoi yang mengimpikan angan-angan. Sebilangan terdera dan terpenjara di Taiwan, Hong Kong atau Tanah Besar Tirai Bambu. Tapi Hanna memilih Jakarta.
Di Jakarta, Hanna menemukan kenyataan. Hidup bukan semudah menganyam mimpi. Dalam Lilin Negeri 1 ( hal. 32 ) Hanna menulis;
ampas kopi mengantar buih
berlayar di lidah
memancing
pahit
mencipta
sepi
secangkir manis
tertawan
api
bara jeruji
besi
terbang
membakar
mimpi
Rasanya Hanna mahu mengungkapkan tragedi bulan Mei yang mana dirinya yang Cina terperangkap dalam dogma dan kasus eforia Soeharto 1998. Jakarta ambruk dengan gejala rusuhan dan etnis Cina antara korban pembrandulan.
Namun Lilin Negeri 1 dimurnikan dengan Lilin Negeri 2: abdulrahman wahid ( hal. 33 ) Lilin Negeri 2ditulis begini;
kita berbincang sepanjang malam
di atas roda empat mendengar kabar
" sang naga telah beranjak
meninggalkan rahim ibunya "
di manakah jarak
saat daging menyentuh tulang?
lalu kawanan angin berkelebat
di barisan bulu mataku
merontokkan helai-helai ingatan
aku hanya mampu berkata
" jangan bergelombang
jangan berombak
aku tidak membawa sampan "
kini selembar layar
harus mengarus arus
berjuang sendiri
dalam ombak dingin udara
Abdulrahman Wahid a.k.a Gus Dur dialah penyelamat etnis Cina di Indonesia. Ketika etnis Cina digebok , Gus Dur memberi perlindungannya. Antaranya mengasehi etnis Cina dengan mengatakan bahwa dirinya juga punya titisan darah Cina. Oleh yang demikian, Cina adalah saudaranya. Dengan pengakuan Gus Dur ini, etnis Cina terperagah dan semacam punya semangat baru. Di kalangan etnis pribumi, Gus Dur dilihat mencari keuntungan moral mencari sokongan etnis Cina. Ini yang mahu disampaikan oleh Hanna.
Untuk mengetahui kasus tragedi bulan Mei, lihatlah Hanna menulisnya dalam Puisi Mei ( haL. 42 )
pernahkah kau aksikan tarian jujur
yang memaku matamu hingga ke ujung kubur?
kulit mayat daging bebas kau lumat
puing-puing tegak, di bawah tiang bendera negara
membawa kau, yang kini kusebut kalian
pada gairah syahwat
debu gemuruh
nafsu gemuruh
kausebut aku dungu
inilah negeri mei, amoi
tarian naga meliuk merah sepanjang kota
kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah warna
bendera
merah dan putih
seperti darah. seperti kulit
" mari membakar sate, dari pekik anak dara yang
belum lulus esde "
lalu kalian menyambutnya drngan sederhana
dengan menjarah lorong-lorong kota
sambil menyanyikan bersama: padamu negeri
Kasus tragedi bulan Mei seakan tertumpu kepada etnis Cina. Etnis Cina diberandul seenaknya.
debu gemuruh
nafsu gemuruh
kau sebut aku dungu
Sama ada di Indonesia atau Malaysia, rusuhan dan demonstrasi akhirnya menabrak ke atas kesukuan ras. Peristiwa 13 Mei 1969 di Kuala Lumpur, juga antara pribumi dan etnis Cina. Eforia 1998 di Jakarta juga sama. Antara dalilnya, etnis minoritas Cina memberandul ekonomi negara.
inilah negeri mei, amoi!
tarian naga meliuk merah sepanjang kota
kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah
warna bendera
Kutang lambang kerakusan terhadap perempuan. Kutang juga digunakan oleh Rendra dalam mempersatukan pelacur dalam sajak Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta. Mari kita tatapi suara pekikan demonstrasi.
" mari kita bakar sate " pekik dari anak dara yang
belum lulus esde ( SD )
Ini gejala yang melibatkan pelajar yang diperkudakan untuk tujuan memberandul massa.
Satu ungkapan yang tak bertanggungjawab. " Bakar dan sate " Bakar adalah api kemarahan. ' Sate ' daripada bahasa Manderin bermaksud ' tiga cucuk daging ' Membakar daging adalah membakar keharmonian kaum di sebuah negara yang menyanjung pancasila.
Hanna terus meratapi musim ini. Lihatlah dalam puisinya, Nyanyi Tanah Negeri ( hal. 43 )
bulanku, bulanku, pecah dalam kabut belati
angin bertiuplah, iris ranting hatiku
congkel mata daun gugur
dalam aorteku
urat-urat hati
tulangku tegak, tapi
menggores tajam di dinding jantung - menyebut namamu
serupa gagak hitam, yang berseru dalam deru
o, lidahku kelu, hilang detak, tanpa nadi
darah mengalir ke muara luka
- mengendus tanah-tanah
tandus terbuka
namun, siapakah yang mendengar?
langit, angin, awan, hujan dan bulan
bulanku, bulanku, berlayarlah di samudra biru
bawa jasadku serta
dalam palung-palung bunga cinta
dan air mata
Nyanyi Tanah Negeri adalah rintihan Hanna. Rintihan etnis Cina yang selama ini menunjukkan taat setia, tapi diperlecehkan dan diperlekehkan begitu saja. Hanna, merintih mohon dimengertikan perasaannya, namun siapalah yang mendengarkan. Rintihannya terus beralun,
bulanku, bulanku, menyerlah ke samudra kita
bawa jasadku serta
dalam palung-palung bunga cinta
dan air mata
Ada satu sajak Hanna yang terlepas dari konfliks negara tapi sesunguhnya ia mungkin ' ibu ' segala angkara. Lihat Hanna menukilkan dalam sajak Koi
koi itu sungguh serius
sisiknya menyampai agama
yang ditakuti marx hingga mencetus revolusi
tapi mao tak mudah dikibuli
ia pelihara koi, lalu mengirimnya
ke negeri-negeri
di dunia ketiga
Koi adalah ikan peliharaan yang berwarna-warni. Selalu kedapatan di toko terkemuka atau hotel-hotel kelas tinggi. Tapi koi ini sebagai satu simbol isme oleh Marx dan Mao. Kedua-duanya adalah isme komunis yang pernah menjajah negara-negara ke tiga seperti Indonesia. Ikan-ikan koi ini ( simbol ) komunisme dikirimkan ke Indonesia pada tahun 196-1965 sehingga jatuh rejim Soekarno dan diganti rejim Soeharto.
Sungguh hebat sajak-sajak Hanna. Membacanya kita memasuki dunia jungkirbalik yang menderakan. Rupanya revolusi dan reformasi setiap kali berlaku, akan memakan korban. Biasanya korban ini adalah dari etnis Cina. Hanna yang Cina dan Hanna yang cinta Indonesia. Kenapa Hanna tak tinggalkan Jakarta saja lalu ke Australia atau Amerika melebarkan bisnis automobilnya. Hanna cintakan kita. Hanna cintakan Nusantara dengan segala kurangan dan kelebihannya. Biar robek hatinya, biar dikelar tubuhnya, cinta Hanna tetap kepada Indonesia. Rupanya suara itu sampai ke tapak batas dan juga Malaysia, dikongsi, diisap warna darah yang sama oleh kemanusiaan dengan iri dan melas sekali.
penyair han
menyanggul sajak
dengan bunga padma:
" tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu
menggunting urat hasrat dari nafasmu
dan tuhanku mengajari menyimak
mengejar lekuk yang kausinkan dari hatimu "
Ini merupakan mukadimah untuk mengenali penyair Han a.k.a Hanna. Kalimat " tuan, sekepal jantungku berdegup mencari // menggunting urat hasrat dari nafasmu // dan tuhanku mengajari menyimak // mengejar lekuk yang kausinkan dari hatimu, mengingatkan saya pada sajak Sapardi Djoko Damono, Tuan ( Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984 ) Sapardi menulis begini;
" tuan, tuhan bukan? tunggu sebentar, saya sedang keluar, "
Hanna menyatakan bahwa menyanggul sajak dengan bunga padma. Kenapa padma? Bukan anggerik, mawar atau lili yang banyak tumbuh dan mekar di sekitar kota dan desa. Padma hanya bunga hutan, bersaiz besar dan sukar ditemukan sewenangnya. Itulah metafora Hanna, sajak bukanlah semudah dan sepele itu kayaknya hingga bisa dinikmati pada sebarang waktu yang mungkin. Sajak yang sebenar-benar sajak adalah sejarang dan sesukar bunga padma di hutan tebal.
Sebuah sajak yang sederhana pendek adalah Amoi ( hal. 26 ) Amoi adalah panggilan yang sinonim dengan anak gadis Cina. Sama ada di Malaysia atau Indonesia, panggilan amoi bukan suatu yang asing didengar. Dalam Amoi, Hanna menulis;
kelopak bunga di tengah gerimis
melayang tumbang. senja nyaris tenggelam
bagai singkawang kampung halam
tempat gadis kecilku menyeret pelangi
menuju matahari. kuncup-kuncup kembang
belumlah mekar, tapi pelangi dan matahari
bukankah ia terbit di ujung bumi?
gadis kecilku menyingsong bumi
menyongsong matahari
meninggalkan jendela dan singkawang
kampung halaman. dua sungai merah di pipi
di mimpi seorang ibu: " jangan petik bulan mati
jangan petik tunas kami " tapi matahari
bukankah kadang tak peduli?
singkawang kampung halaman
bunga yang koyak tenggelam, beribu perawan
dipaksa peri menyongsong angin
Amoi adalah biografi diri Hanna. Anak gadis dari Singkawang di Kalimantan yang penuh impian. Impian ( pelangi ) menyeret Hanna ke kota raya ( Jakarta ) yang diperlambangan dengan matahari, tempat memancar segala cahaya dan kilauannya. Ibunya menyinis, " jangan petik bulan mati " yang merupakan pemikiran ortodok masyarakat desa. Tapi Jakarta kota segala kemungkinan, kadang-kadang berlaku kurang ajar. Hanna mengatakan, " tapi matahari bukankah kadang tidak peduli? " Singkawang katanya, pusat ribuan amoi yang mengimpikan angan-angan. Sebilangan terdera dan terpenjara di Taiwan, Hong Kong atau Tanah Besar Tirai Bambu. Tapi Hanna memilih Jakarta.
Di Jakarta, Hanna menemukan kenyataan. Hidup bukan semudah menganyam mimpi. Dalam Lilin Negeri 1 ( hal. 32 ) Hanna menulis;
ampas kopi mengantar buih
berlayar di lidah
memancing
pahit
mencipta
sepi
secangkir manis
tertawan
api
bara jeruji
besi
terbang
membakar
mimpi
Rasanya Hanna mahu mengungkapkan tragedi bulan Mei yang mana dirinya yang Cina terperangkap dalam dogma dan kasus eforia Soeharto 1998. Jakarta ambruk dengan gejala rusuhan dan etnis Cina antara korban pembrandulan.
Namun Lilin Negeri 1 dimurnikan dengan Lilin Negeri 2: abdulrahman wahid ( hal. 33 ) Lilin Negeri 2ditulis begini;
kita berbincang sepanjang malam
di atas roda empat mendengar kabar
" sang naga telah beranjak
meninggalkan rahim ibunya "
di manakah jarak
saat daging menyentuh tulang?
lalu kawanan angin berkelebat
di barisan bulu mataku
merontokkan helai-helai ingatan
aku hanya mampu berkata
" jangan bergelombang
jangan berombak
aku tidak membawa sampan "
kini selembar layar
harus mengarus arus
berjuang sendiri
dalam ombak dingin udara
Abdulrahman Wahid a.k.a Gus Dur dialah penyelamat etnis Cina di Indonesia. Ketika etnis Cina digebok , Gus Dur memberi perlindungannya. Antaranya mengasehi etnis Cina dengan mengatakan bahwa dirinya juga punya titisan darah Cina. Oleh yang demikian, Cina adalah saudaranya. Dengan pengakuan Gus Dur ini, etnis Cina terperagah dan semacam punya semangat baru. Di kalangan etnis pribumi, Gus Dur dilihat mencari keuntungan moral mencari sokongan etnis Cina. Ini yang mahu disampaikan oleh Hanna.
Untuk mengetahui kasus tragedi bulan Mei, lihatlah Hanna menulisnya dalam Puisi Mei ( haL. 42 )
pernahkah kau aksikan tarian jujur
yang memaku matamu hingga ke ujung kubur?
kulit mayat daging bebas kau lumat
puing-puing tegak, di bawah tiang bendera negara
membawa kau, yang kini kusebut kalian
pada gairah syahwat
debu gemuruh
nafsu gemuruh
kausebut aku dungu
inilah negeri mei, amoi
tarian naga meliuk merah sepanjang kota
kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah warna
bendera
merah dan putih
seperti darah. seperti kulit
" mari membakar sate, dari pekik anak dara yang
belum lulus esde "
lalu kalian menyambutnya drngan sederhana
dengan menjarah lorong-lorong kota
sambil menyanyikan bersama: padamu negeri
Kasus tragedi bulan Mei seakan tertumpu kepada etnis Cina. Etnis Cina diberandul seenaknya.
debu gemuruh
nafsu gemuruh
kau sebut aku dungu
Sama ada di Indonesia atau Malaysia, rusuhan dan demonstrasi akhirnya menabrak ke atas kesukuan ras. Peristiwa 13 Mei 1969 di Kuala Lumpur, juga antara pribumi dan etnis Cina. Eforia 1998 di Jakarta juga sama. Antara dalilnya, etnis minoritas Cina memberandul ekonomi negara.
inilah negeri mei, amoi!
tarian naga meliuk merah sepanjang kota
kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah
warna bendera
Kutang lambang kerakusan terhadap perempuan. Kutang juga digunakan oleh Rendra dalam mempersatukan pelacur dalam sajak Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta. Mari kita tatapi suara pekikan demonstrasi.
" mari kita bakar sate " pekik dari anak dara yang
belum lulus esde ( SD )
Ini gejala yang melibatkan pelajar yang diperkudakan untuk tujuan memberandul massa.
Satu ungkapan yang tak bertanggungjawab. " Bakar dan sate " Bakar adalah api kemarahan. ' Sate ' daripada bahasa Manderin bermaksud ' tiga cucuk daging ' Membakar daging adalah membakar keharmonian kaum di sebuah negara yang menyanjung pancasila.
Hanna terus meratapi musim ini. Lihatlah dalam puisinya, Nyanyi Tanah Negeri ( hal. 43 )
bulanku, bulanku, pecah dalam kabut belati
angin bertiuplah, iris ranting hatiku
congkel mata daun gugur
dalam aorteku
urat-urat hati
tulangku tegak, tapi
menggores tajam di dinding jantung - menyebut namamu
serupa gagak hitam, yang berseru dalam deru
o, lidahku kelu, hilang detak, tanpa nadi
darah mengalir ke muara luka
- mengendus tanah-tanah
tandus terbuka
namun, siapakah yang mendengar?
langit, angin, awan, hujan dan bulan
bulanku, bulanku, berlayarlah di samudra biru
bawa jasadku serta
dalam palung-palung bunga cinta
dan air mata
Nyanyi Tanah Negeri adalah rintihan Hanna. Rintihan etnis Cina yang selama ini menunjukkan taat setia, tapi diperlecehkan dan diperlekehkan begitu saja. Hanna, merintih mohon dimengertikan perasaannya, namun siapalah yang mendengarkan. Rintihannya terus beralun,
bulanku, bulanku, menyerlah ke samudra kita
bawa jasadku serta
dalam palung-palung bunga cinta
dan air mata
Ada satu sajak Hanna yang terlepas dari konfliks negara tapi sesunguhnya ia mungkin ' ibu ' segala angkara. Lihat Hanna menukilkan dalam sajak Koi
koi itu sungguh serius
sisiknya menyampai agama
yang ditakuti marx hingga mencetus revolusi
tapi mao tak mudah dikibuli
ia pelihara koi, lalu mengirimnya
ke negeri-negeri
di dunia ketiga
Koi adalah ikan peliharaan yang berwarna-warni. Selalu kedapatan di toko terkemuka atau hotel-hotel kelas tinggi. Tapi koi ini sebagai satu simbol isme oleh Marx dan Mao. Kedua-duanya adalah isme komunis yang pernah menjajah negara-negara ke tiga seperti Indonesia. Ikan-ikan koi ini ( simbol ) komunisme dikirimkan ke Indonesia pada tahun 196-1965 sehingga jatuh rejim Soekarno dan diganti rejim Soeharto.
Sungguh hebat sajak-sajak Hanna. Membacanya kita memasuki dunia jungkirbalik yang menderakan. Rupanya revolusi dan reformasi setiap kali berlaku, akan memakan korban. Biasanya korban ini adalah dari etnis Cina. Hanna yang Cina dan Hanna yang cinta Indonesia. Kenapa Hanna tak tinggalkan Jakarta saja lalu ke Australia atau Amerika melebarkan bisnis automobilnya. Hanna cintakan kita. Hanna cintakan Nusantara dengan segala kurangan dan kelebihannya. Biar robek hatinya, biar dikelar tubuhnya, cinta Hanna tetap kepada Indonesia. Rupanya suara itu sampai ke tapak batas dan juga Malaysia, dikongsi, diisap warna darah yang sama oleh kemanusiaan dengan iri dan melas sekali.
No comments:
Post a Comment